Susenas: Ketika Data Berbicara tentang Isi Piring dan Isi Kebijakan


Pernahkah kita membayangkan bagaimana pemerintah tahu bahwa garis kemiskinan itu mendekati Rp600 ribu per kapita per bulan, bukan satu juta? Atau dari mana asal angka bahwa konsumsi beras turun, tapi pengeluaran rokok justru naik? Jawabannya: dari Susenas—Survei Sosial Ekonomi Nasional. Survei ini bukan sekadar tanya-jawab soal belanja rumah tangga. Ia adalah pondasi banyak kebijakan penting yang memengaruhi hidup jutaan warga.

Lebih dari Sekadar Tanya "Beli Apa Hari Ini"
Setiap bulan Maret dan September, petugas Badan Pusat Statistik/BPS (mitra statistik) menyebar ke seluruh pelosok Indonesia, dari gang sempit di kota besar hingga desa-desa terpencil di pegunungan. Mereka tak hanya menanyakan apa yang dibeli, tapi juga berapa banyak, dengan uang berapa, dan dibeli di mana—apakah lewat warung dekat rumah, pasar tradisional, atau aplikasi online.
Data yang dikumpulkan sangat rinci: lebih dari 200 komoditas makanan, minuman, dan barang bukan makanan. Bahkan, konsumsi makanan siap saji seperti nasi goreng, sate, bubur ayam, hingga minuman teh kemasan pun dicatat. Tidak hanya itu, asal barang juga ditelusuri: dibeli, diberi, atau hasil sendiri.
Dari sana, pemerintah menghitung garis kemiskinan, tingkat ketimpangan (Gini Ratio), serta menganalisis perilaku konsumsi masyarakat. Inilah dasar dalam menentukan siapa yang layak mendapat bantuan sosial, seberapa besar inflasi terasa di rumah tangga, hingga bagaimana kebijakan pangan dirancang.
Di Balik Angka, Ada Wajah-Wajah Keluarga
Angka-angka dalam Susenas bukan angka mati. Mereka memotret keseharian yang nyata: seorang ibu yang mulai jarang membeli ikan karena harga naik, atau anak sekolah yang lebih sering sarapan mi instan ketimbang telur hingga mengapa sebagian rumah tangga masih bergantung pada hasil sendiri atau pemberian untuk makan sehari-hari. Data ini juga membuka mata: bagaimana pengeluaran rokok justru bisa lebih besar dibanding buah atau susu. Suatu sinyal soal tantangan gizi dan masa depan kesehatan masyarakat.
Yang lebih mutakhir, Susenas kini mencatat asal pembelian (online, offline, atau kombinasi). Ini membuka jalan untuk membaca bagaimana teknologi mengubah cara keluarga berbelanja dan mengakses pangan.
Tantangan di Balik Ketelitian: Dari Gizi yang Hilang hingga Beban Responden
Meski sangat rinci, Susenas belum menyentuh aspek yang lebih mendalam seperti kualitas gizi. Kita tahu berapa kilogram beras dikonsumsi, tapi tidak tahu apakah cukup kalori, protein, atau zat besi yang dikandung. Padahal, kita tengah menghadapi krisis stunting, anemia, dan malnutrisi tersembunyi (hidden hunger).
Instrumen yang kompleks juga jadi tantangan. Ratusan item yang harus diingat bisa membebani responden. Bagi keluarga dengan literasi rendah atau waktu terbatas, ini bukan hal mudah. Risiko jawaban asal atau lupa tentu bisa menurunkan kualitas data.
Selain itu, masih terbatasnya integrasi Susenas dengan informasi tentang sanitasi, air bersih, pendidikan, dan hunian membuat kita belum bisa menangkap gambaran utuh kesejahteraan. Padahal kesejahteraan bukan hanya soal pengeluaran, tetapi soal hidup yang sehat, layak, dan bermartabat.
Dari Dapur Rakyat ke Meja Kebijakan
Meski begitu, Susenas tetaplah alat yang sangat berharga. Ia telah jadi rujukan utama dalam banyak kebijakan nasional, dari RPJMN, penghitungan kemiskinan multidimensi, hingga pemantauan SDGs. Lembaga seperti Bappenas, World Bank, UNICEF, dan UNDP menjadikan data Susenas sebagai bahan baku utama untuk melihat ketimpangan, hingga kondisi anak-anak dan perempuan.
Susenas juga membantu kita memahami hal-hal yang mungkin tampak sepele tapi berdampak besar: kenapa keluarga lebih sering membeli mi instan dibanding ikan, atau kenapa bantuan sosial tidak selalu mengubah pola konsumsi secara signifikan.
Sayangnya, pemanfaatan itu belum merata. Di banyak ruang kebijakan, khususnya di daerah, Susenas masih dilihat sebagai dokumen teknokratis, bukan alat perencanaan. Padahal dengan estimasi sampai level kabupaten/kota, potensinya luar biasa untuk menyusun kebijakan yang presisi dan berdampak langsung.
Dengarkan Suara dari Dapur
Susenas bukan hanya harus digunakan lebih serius, tapi juga dimaknai secara lebih dalam. Sebab, data tidak pernah bicara sendiri. Ia perlu ditafsirkan dengan empati, ditindaklanjuti dengan kebijakan yang tepat sasaran, dan dibagikan secara terbuka agar dapat digunakan oleh lebih banyak aktor pembangunan.
Susenas adalah suara dari dapur-dapur rakyat. Ia bercerita tentang isi piring hari ini, isi dompet akhir bulan, dan pilihan sulit yang harus dibuat demi bertahan hidup. Ia tidak hanya bicara dalam angka, tapi menyuarakan kenyataan.
Di balik semua ini, ada kerja besar para mitra statistik, petugas lapangan, analis data, dan pengolah kebijakan yang patut diapresiasi atas dedikasinya menjembatani suara rakyat dengan negara.
Kini saatnya kita tidak hanya menggunakan Susenas lebih serius, tapi juga memaknainya lebih dalam. Karena di balik data itu, ada kehidupan dan masa depan jutaan keluarga Indonesia.


ditulis oleh:
Andri Yudhi Supriadi
Alumni Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia, pemerhati sosial ekonomi

0 Comments:

Post a Comment